Di tengah pusaran era digital, lanskap politik kontemporer mengalami metamorfosis yang signifikan, dimana media sosial menjelma menjadi arena krusial bagi interaksi antara politisi dan masyarakat.
Dalam konteks ini, Gubernur Jawa Barat periode 2018-2023 Ridwan Kamil dan Gubernur Jawa Barat yang mulai menjabat pada 20 Februari 2025 lalu, Dedi Mulyadi tampil sebagai dua figur sentral yang mahir memanfaatkan media sosial untuk membangun citra diri dan memperluas pengaruh. Namun, pendekatan yang mereka usung menyimpan perbedaan fundamental yang mengundang telaah lebih mendalam.
Ridwan Kamil memanfaatkan media sosial bukan hanya untuk publikasi kegiatan, tetapi juga untuk meluncurkan program-program yang dikemas dengan bahasa populer seperti jalan cantik dan program-program cantik lainnya. Sejumlah media mencatat bahwa Ridwan Kamil sengaja memilih nama program yang kece badai untuk memudahkan penetrasi pesan kebijakan kepada masyarakat awam.
Selain itu, Ridwan Kamil memanfaatkan Instagram bukan hanya sebagai sarana komunikasi, tetapi juga arena pencitraan. Contoh yang paling bisa kita kenali adalah saat ia turun langsung memberikan bantuan kepada warga miskin, sembari bercanda atau membuat konten kreatif.
Gaya ini dianggap sebagai politik gaya milenial, cepat viral, mudah dikonsumsi publik, namun sering kali tidak menjawab kompleksitas masalah seperti disparitas infrastruktur desa-kota atau lemahnya sistem kesehatan daerah.
Jika Ridwan Kamil mengemas politik dalam format gaya milenial melalui Instagram, maka Dedi Mulyadi memilih pendekatan yang lebih teatrikal. KDM memanfaatkan YouTube dan Facebook untuk membangun semacam reality show politik yang mengaburkan batas antara pelayanan publik, hiburan, dan kampanye.
Video-videonya yang menampilkan dirinya menegur warga yang buang sampah sembarangan, membantu orang miskin yang rumahnya roboh, atau memberi wejangan budaya Sunda dengan bahasa yang blak-blakan cepat menjadi tontonan viral.
Narasi yang dibangun adalah bahwa Dedi bukan sekadar pejabat melainkan “bapa aing” yang hadir langsung di tengah rakyatnya. Media-media lokal kemudian menyoroti fenomena ini sebagai bentuk politik pertunjukan. Politik yang menjadikan aksi spontan, dramatis, dan emosional sebagai modal utama pencitraan.
Di satu sisi, pendekatan ini berhasil menancapkan citra Dedi Mulyadi sebagai pemimpin yang merakyat dan berbeda dari gaya birokratis yang kaku. Ia memanfaatkan algoritma media sosial yang gemar mendorong konten emosional sehingga setiap interaksi kecilnya bisa menjadi viral, memperluas daya jangkau pengaruhnya melampaui teritorial pemerintahannya di Jawa Barat.
Namun, problem mendasar dari politik pertunjukan tersebut justru terletak pada solusi yang ditawarkan. Solusi yang ditawarkan berhenti pada adegan emosional dikamera, seperti memberi uang tunai, menegur dengan gaya khas, atau mengutip pepatah Sunda tanpa diikuti oleh desain kebijakan jangka panjang yang menyentuh akar masalah struktural, seperti ketimpangan kemiskinan, pengangguran, pendidikan, dan masalah sosial lainnya.
Apa yang tampak sebagai kepedulian sesaat sering kali gagal diterjemahkan menjadi reformasi birokrasi, peningkatan kualitas layanan publik, atau pemberdayaan ekonomi berkelanjutan. Dengan kata lain, realitas sosial yang kompleks direduksi menjadi drama beberapa menit yang bisa dikonsumsi warganet. Isu-isu penting disederhanakan menjadi konten viral yang kehilangan substansi dan kedalamannya.
Ditiru di Purwakarta?
Ironisnya, gaya politik semacam ini justru ditiru habis-habisan oleh penerusnya di Kabupaten Purwakarta, yang mungkin tergiur oleh popularitas instan yang bisa diraih. Kita bisa melihat bagaimana gaya ini diwariskan dan dipraktikkan oleh para pemimpin di Purwakarta, yang mungkin tanpa sadar terjebak dalam lingkaran politik pertunjukan yang dangkal.
Namun, sebagai masyarakat yang bijaksana, kita perlu merenungkan lebih dalam tentang fenomena ini. Apakah kita hanya ingin melihat pemimpin yang tampil peduli di depan kamera, atau kita menginginkan pemimpin yang benar-benar berjuang untuk mewujudkan perubahan yang nyata dan berkelanjutan?
Kita perlu menyadari bahwa perubahan yang sejati membutuhkan lebih dari sekadar kepedulian sesaat. Ia membutuhkan visi yang jelas, perencanaan yang matang, tindakan yang konsisten, dan komitmen yang kuat untuk melayani masyarakat.
Oleh karena itu, mari kita menjadi masyarakat yang cerdas dan kritis. Jangan mudah terpukau oleh janji-janji manis dan aksi-aksi dramatis. Kita semua menginginkan pemimpin yang memiliki integritas, kompetensi, dan rekam jejak yang terbukti.
Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa kepedulian yang ditunjukkan oleh para pemimpin kita bukan hanya sekadar ilusi, melainkan fondasi yang kokoh untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi kita semua.
Meski pada kenyataannya, baik di Jawa Barat maupun di Purwakarta, politik seolah-olah bertransformasi menjadi konten media sosial, dan rakyat berubah menjadi penonton yang menekan tombol like, share, atau komen. Padahal, partisipasi politik yang sejati menuntut lebih dari sekadar keterlibatan emosional atau hal-hal yang viral. Ia memerlukan perumusan visi, perencanaan kebijakan, dan sistem kerja kolektif.
Penulis: Yuslipar, Koordinator Forum Komunikasi Jurnalis Purwakarta (Fokus JP)